Bagi Lo, Buffett adalah gurunya. Ia hafal di luar kepala banyak petuah Buffett, kisah hidup sang maestro, bahkan menghormati prinsip hidupnya. Rupanya tak sia-sia Lo membaca puluhan buku ‘ajaran’ Buffett, ia menarik pelajaran dari situ dan hasilnya? Lo telah memetik keuntungan besar dari bursa saham. Keuntungannya dari saham berlipat ribuan persen.
Nafkah hidupnya pun hanya berasal dari saham. Ia mengaku tak punya usaha atau pekerjaan apapun selain berinvestasi saham. Tak heran, pelaku bursa banyak menjuluki ayah dua orang anak ini sebagai Warren Buffett-nya Indonesia.
Simak kisah, pandangan hidup, dan strategi investasi Lo dari pengakuannya sendiri kepada KONTAN berikut.
Saya ini hanya seorang investor, 100% uang saya taruh di saham.
Jadi saya tidak bekerja dan saya tak punya kantor. Saya hanya punya satu sopir untuk mengantar-antar saya dan dua pembantu di rumah. Saya bangga jadi investor saham. Kalau mengisi formulir, misalnya di bank pun, saya selalu tulis profesi saya investor saham.
Saya ini sudah berinvestasi saham selama 23 tahun. Tentu saja tidak semua investasi saya berhasil, saya pernah jatuh. Saya juga tidak langsung pintar.
Semakin lama orang bermain saham, dia bisa belajar dari kesalahannya dan akan semakin terlatih. Saya percaya, orang yang berhasil itu adalah orang yang jatuh tapi bangun lagi.
Pertama kali saya membeli saham tahun 1989. Berapa modal awal saya? Nol. Waktu itu saya masih karyawan Bank Ekonomi, jadi saya hanya menyisihkan sedikit demi sedikit dari gaji saya. Kalau orang lain membelanjakan penghasilannya untuk macam-macam, saya belanjakan sebagian gaji setiap bulan untuk membeli saham.
Saya ingat, di awal saya invest, saya mengantre untuk membeli saham penawaran perdana (IPO) PT Gajah Surya Multifinance. Antrenya panjang sekali. Saya semangat membeli, eh nggak tahunya begitu listing saham itu jeblok. Hahaha...
Tapi saya tetap yakin dan terus berinvestasi sampai akhirnya pendapatan dari saham bisa menghidupi saya. Ketika saya sudah merasa cukup, pada tahun 1996, saya berhenti dari Bank Ekonomi pada saat saya sudah jadi Kepala Cabang.
Ada empat alasan kenapa saya memilih menjadi investor saham.
Pertama, investor saham bisa menjadi orang terkaya di dunia. Contohnya? Ya, Warren Buffett. Saya belajar dari dia. Selama 10 tahun terakhir ini, saya sudah baca 40-an buku tentang Buffet. Buku itu tak hanya saya baca sekali, tapi saya ulangi dua tiga kali, benar-benar saya pahami isinya.
Kedua, keuntungan perusahaan itu hak si pemegang saham. Bayangkan, yang bekerja direksi dan karyawan, tapi begitu untung yang menerima pemegang saham. Enak kan? Membeli perusahaan yang untung besar itu seperti membeli mesin pencetak uang.
Ketiga, dalam jangka panjang imbal hasil saham lebih tinggi dari instrumen investasi lainnya, seperti obligasi, emas, dan properti.
Keempat, jadi investor itu waktu luangnya banyak. Anda tahu, di dunia ini ada empat macam manusia. Tipe pertama, orang yang punya banyak waktu tapi tidak punya uang. Contohnya, orang pengangguran.
Tipe kedua, yang punya banyak uang tapi tidak punya waktu. Yang ini biasanya para pengusaha. Lalu tiga, orang yang tidak punya waktu dan tidak punya banyak uang juga. Ini kebanyakan para pegawai yang bergaji kecil.
Tipe terakhir, orang yang punya waktu dan punya uang. Tipe terakhir inilah yang saya inginkan sebagai investor saham. Orang bilang,time is money. Buat saya tidak, waktu lebih berarti dari uang. Uang bisa dicari, tapi uang tidak bisa mengembalikan waktu.
Sekarang saya merasa punya banyak waktu. Saya bisa travelling menjelajahi berbagai kota di lima benua. Sekali saya pergi, tidak sebentar lho, saya bisa tinggal sampai sebulan di sana.
Tapi saya juga memanfaatkan waktu saya untuk membaca. Setiap pagi, bangun, lalu saya pergi ke taman, duduk membaca dan berpikir. Itu hobi saya. Laporan keuangan itu makanan sehari-hari. Saya juga berlangganan empat koran, tiga di antaranya koran bisnis termasuk KONTAN. Semuanya saya baca dari halaman satu sampai habis.
Sering saya baru mandi jam satu, kemudian keluar, kadang pergi ke sekuritas. Saya ini manusia gaptek. Saya tidak punya laptop, tidak mengerti apa itu email atau internet apalagi online trading. Jadi saya membeli saham selalu lewat telepon kepada beberapa sekuritas. Saya tidak takut kehilangan momentum meskipun membeli lewat telepon, kan saya bermain saham untuk jangka panjang.
Dalam berinvestasi, saya berusaha membeli perusahaan yang bagus di harga murah dan saya simpan.
Saya punya lima kriteria untuk membeli perusahaan publik.
Pertama, lihat manajemennya apakah dikelola orang yang jujur, profesional, berintegritas, dan saya kagumi. Jarang sekali orang membeli saham dengan melihat ini, biasanya orang hanya lihat laporan keuangan. Tapi bagi saya, kalau dalam properti itu ada istilah lokasi, lokasi, lokasi, dalam ekuiti itu harus manajemen, manajemen, manajemen.
Kedua, perhatikan usahanya. Di masa depan akan seperti apa bisnis itu? Memang, hari esok itu misteri. Tapi saya sendiri berpendapat, masa depan itu ditentukan juga dari masa lalu. Bagi perusahaan yang sudah memenuhi syarat pertama tadi, kita bisa lihat masa lalunya dalam jangka panjang misalnya 5-10 tahun ke belakang. Kalau itu untung, kemungkinan ke depan juga akan untung.
Ketiga, cari perusahaan yang labanya besar. Hitung berapa besar
profit margin-nya dan
return on equity atau ROE-nya (tingkat pengembalian modal: rasio laba bersih terhadap total modal).
Keempat, pilih perusahaan yang terus bertumbuh dalam jangka panjang.
Kelima, cermati valuasi dari
PER (price earning ratio) atau PBV (
price to book value), bandingkan dengan kompetitornya. Belilah yang murah. Kesempatan emas untuk membeli saham bagus dengan harga murah tentu saja di tengah kondisi krisis. Saya selalu ikuti prinsip Buffet,
be greedy when the others are fearful.
Dengan lima prinsip sederhana itu nyatanya saya berhasil.
Pada tahun 2005, saya membeli saham PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI). Waktu itu harga perusahaan ternak ayam terbesar kedua di Indonesia ini baru Rp 250 per saham. Saya kumpulkan pelan-pelan sahamnya sampai akhirnya punya 8,29% saham. Tahun lalu, harga sahamnya sudah mencapai Rp 31.500, jadi naik 12.600%. Keuntungan itu saya realisasikan. Saham itu saya jual karena dia akan merger dengan
PT Japfa Comfeed Tbk (JPFA).
Saya juga pernah punya saham
PT Timah Tbk (TINS). Saya beli di tahun 2002 seharga Rp 285. Dalam dua tahun harganya naik ke Rp 2.900. Saya jual, tapi setelah saya lepas, dia terbang lebih tinggi lagi. Waktu itu ilmu memang belum tinggi. Begitu harga saham naik banyak, saya gemetar.
Menyesalkah saya? Begini, kalau investor saham tidak bijak, maka seluruh hidupnya akan berisi penyesalan. Jual sekarang, besok harga lebih tinggi lagi. Tahan, enggak tahunya harga turun terus.
Sekarang, portofolio saya berisi sekitar 20-an saham dengan jumlah saham maksimal 4%. Tidak banyak kelihatannya, tapi rata-rata perusahaan besar. Saya juga merotasinya. Kalau ketemu satu perusahaan bagus, maka saya cari mana di portofolio yang sudah menurun dan saya buang satu juga.
Saya juga pernah rugi.
Saya pernah rugi karena margin. Makanya sejak tahun 1998 saya enggak pernah memakai fasilitas margin lagi.
Saya sekarang bebas utang. Pernah dengar kisah Jesse Livermore? Dia salah satu investor yang sangat sukses di jaman dulu. Dari tukang tulis papan bursa dia investasi saham dan jadi investor besar. Tapi dia berutang dan akhirnya ketika investasinya gagal, dia bunuh diri.
Saya tidak mau seperti itu. Kalau tidak punya utang, meskipun saham saya hancur, saya tidak apa-apa. Saya masih punya saham itu yang ke depan juga bisa naik lagi.
Karena itu, meskipun harga saham jatuh dan uang saya tinggal 15%, saya tetap membeli saham. Tentu saja istri tidak tahu...ha ha ha. Saya membeli saham United Tractors (UNTR), saham bagus yang harganya sudah murah sekali. Waktu itu pernah jatuh sampai Rp 125, tapi saya baru masuk di Rp 250. Padahal, laba operasi per sahamnya sudah 7.800.
Saya belikan semua sisa uang saya untuk satu saham itu. Dan benar, UNTR naik terus. Pada tahun 2004, saya akhirnya jual. Waktu itu harga UNTR Rp 1.350, tapi ini harga sesudah stock split. Kalau dihitung itu kira-kira setara Rp 15.000, jadi saya untung sekitar 6.000%.
Saya ini tidak sama dengan investor saham umumnya.
Saya tidak suka mengejar dividen. Menurut saya, lebih baik saya investasi pada perusahaan yang menggunakan devidennya sebagai modal kerja. Itu akan lebih memberi saya keuntungan.
Saya juga tidak mengejar saham-saham IPO. Dari pengalaman, kalau kita beli saham IPO, ketika sahamnya naik ternyata kita cuma dikasih beberapa lot saja. Tapi kalau jeblok, seringnya kita pesan berapa pun dikasih.
Saat ini, saya melihat IHSG bagus, sudah di atas 4.000 di kondisi krisis seperti ini.
Tapi bukan berarti semuanya mahal. Makanya investor harus melakukan pekerjaan rumahnya, risetlah mana yang masih murah. Saya sendiri sekarang memiliki saham di sektor perbankan, consumer goods, peternakan, sawit, bahkan batubara.
Sejauh ini, saya masih bermain saham di bursa dalam negeri. Tapi bulan depan saya rencananya akan pergi ke Yunani. Saya akan mendalami bursa di sana, pasti banyak saham bagus yang harganya murah. Ini kesempatan.
Terakhir, saran saya bagi investor sekarang: kerjakan PR.
Berapa banyak dari investor yang masih baca
laporan keuangan? Berapa yang melakukan analisis fundamental? Membeli saham perusahaan tanpa melihat lima hal dasar yang saya sebut tadi itu dan hanya melihat chart menurut saya tidak benar, keliru, dan menyesatkan. Investor harus tahu apa yang dia beli.
Main saham itu juga bukan perkara hoki. Tuhan itu maha pengampun, tapi bursa saham tidak punya belas kasihan pada orang yang tidak tahu apa yang dia beli.
Sumber: kontan.co.id